Friday 30 August 2013

MAHAMERU: Perjalanan Menuju Puncak Para Dewa (Bagian 4)

--Perjalanan Hati--

18 Agustus 2013 pukul 00.00

Dalam dingin yang membekukan di Kalimati, kami semua satu Tim telah terjaga. Semua sudah bersiap menempuh sebuah perjuangan maha dahsyat, bukan hanya perjalan fisik, tapi juga sebuah perjalanan hati. Kami akan melakukkan summit attack ke satu tempat tertinggi di pulau ini. Semua persiapan sudah harus terpasang; headlamp, masker, kacamata, jaket tebal, sarung tangan, kupluk, dan air minum yang cukup.

Masih ada satu tempat lagi yang harus dilalui sebelum kami menuju puncak abadi para dewa, tempat itu bernama Arcopodo. Sedikit di atas tempat ini adalah batasan vegetasi, hutan cemara berganti dengan gunungan pasir hingga ke puncak, Mahameru.

Dalam satu lingkaran kami semua mulai berdoa, Aku pun sejenak menundukkan kepala, dipeluk dinginnya malam hatiku memanjatkan doa pada Sang Pemilik Nyawaku ini.

Yaa Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu
malam ini aku akan melangkah menuju satu titik tertinggi
satu titik yang tak semua orang dapat berdiri di atasnya
satu titik yang tak akan mudah di gapai tanpa peran dari Mu
Yaa Allah Yang Maha besar
Malam ini bisa jadi malam terakhirku melihat bintang
Malam ini bisa jadi malam terakhirku menghirup udara bebas
Malam ini bisa jadi malam terakhirku bersua dengan alam
Maka,
Mudahkan langkahku mewujudkan mimpiku ini
Ringankan kakiku untuk melangkah menjemput puncaknya
Lancarkan aku dan semua kawan2 ku di perjalanan ini
Dan setelah malam ini
Aku akan ikhlas menerima apapun takdir yang akan menjemputku
Dengan “Bismillahirohmanirrohim”
Aku melangkah…….

Langkah kaki mulai kami ayun meningglkan tenda kami dalam kebekuan di Kalimati. Kami semua berjalan dalam barisan menuju satu tempat; Arcopodo. Kami tak sendirian, bersama ratusan pendaki lain kami berjalan beriringan. Mataku tak dapat lepas memandang Mahameru, ratusan orang tengah berusaha mencapai puncaknya malam itu. 

Seperti kunang-kunang yang bergerak dalam barisan, lampu-lampu senter mereka membentuk garis cahaya sepanjang jalur menuju puncak Mahameru. Sungguh luar biasa indah dan menggetarkan jiwa.

Satu jam pertama kami lewati dengan penuh semangat, menembus lebatnya belantara dengan jalur yang terus menanjak, sesekali kami harus pun rehat untuk mengumpulkan tenaga. Ramainya pendaki malam itu membuat kami tidak sendirian. Lalu lintas menuju Arcopodo didominasi pendaki yang berharap mencapi Mahameru pagi itu. 

Dua jam sudah kami berjalan, ketinggian kian bertambah dan alam pun mulai tak cocok lagi dengan tubuh kami. Nafas mulai tersengal, dengan oksigen yang makin sedikit, kami terus melangkah. Perlahan persedian air kami mulai menipis. Kami hanya membawa 4 botol teh manis dalam kemasan mineral 600 ml. dalam hatiku mulai gundah “ini tak akan cukup sampai puncak”

Sayup-sayup terdengar suara dari atas kami “Arcopodo, arcopodo”, dalam hati pun lega terasa, berarti tinggal satu langkah lagi menuju puncak Mahameru. Tepat pukul 03.00 kami tiba di Arcopodo. Dahulu di kanan kiri jalur ini penuh dengan prasasti “in memoriam” mengenang para sahabat yang meninggal atau hilang di Mahameru, tapi kini sudah tak banyak terlihat karena sebagian besar telah diturunkan. Biarkan Mahameru tetap dalam pelukan alam, dan kenangan akan sahabat-sahabat kami yang mati dan hilang akan kami simpan di dalam hati.

in memoriam
Setelah sedikit lepas rasa lelah, langkah pun kami lanjutkan menuju daerah kelik sebuah batas vegetasi cemara dengan pasir menuju puncak,  lalu dialanjutkan menuju Cemoro Tunggal. Cemoro tunggal kini telah tumbang karena longsor.

Pohon ini dulunya sebagai petunjuk jalan pulang dari puncak, karena setiap tiba di Puncak pendaki terbiasa lupa jalur pulang. Bahkan untuk turun kita dihadapkan pada 2 jalur: Jalur Kematian (Blank 75) dan Jalur Kehidupan (Jalur Pendakian). Perhatikan jalan yang dipilih, benar-benar perhatikan, jangan ambil terlalu kanan, atau siap-siap untuk ‘jurang tak berdasar’.

Cemoro tunggal pun terlewati, hanya tersisa langit malam yang penuh bintang berbaur dengan lampu senter para pendaki dan jalur terjal menuju puncak. Perjalanan menuju puncak Semeru memang seperti yang digambarkan oleh banyak orang. Permasalah bukan hanya pada jarak dan kemiringan yang harus ditempuh, tetapi juga pada tidak bisa kokohnya pijakan kaki. Yang dipijak adalah pasir, dua langkah naik, harus di bayar satu langkah turun. Begitu terus. Kalau tak kuat hati, tentu saja sudah kalah sedari awal. Oleh karena itu, puncak Semeru ini dapat dikatakan memang hanya bagi mereka yang teruji.
Memang benar adanya bahwa pendakian menuju Mahameru bukan hanya perjalanan fisik, tapi juga “Perjalanan Hati”. Fisik pun telah di tempa hingga tempat ini….

“Kemudian yang kamu perlukan hanyalah
Kaki yang akan melangkah lebih jauh dari biasanya
Tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya
Mata yang akan melihat lebih lama dari biasanya
Leher yang akan selalu mendongak keatas
Lapisan tekad yang lebih kuat dari baja
Hati tang akan bekerja lebih keras
Dan mulut yang selalu berdoa”

Jalur pasir menuju puncak telah penuh sesak dengan pendaki, mungkin ada ribuan orang malam itu yang tertatih menuju puncak Mahameru. Sebagian anggota tim memilih untuk rehat sejenak di Cemoro Tunggal tapi aku, Middi dan Mas Iful memutuskan untuk langsung melangkah bersama ratusan atau bahkan ribuan pendaki lain. 

Sesekali batu kecil ataupun besar turun, menyisakan jejak debu yang harus dilalui. Sesekali ada pendaki di atas yang berteriak ‘batuu… batuu…’, seluruh pendaki di bawah berhenti bergerak, dan berusaha menahan batu yang turun. Sebagian batu itu tertahan oleh pasir. Dia kembali diam. Menunggu untuk kembali diinjak dan kemudian sekali lagi meluncur. Berulang, tanpa ada yang menghitung.

Belum ada 20 langkah kakiku terasa gemetar tertempa angin yang menusuk tulang, tapi aku harus melangkah untuk mengusirnya. 30 menit berlalu, Middi dan Mas iful yang ada di depan aku panggil dengan satu kata “Breeaak.!!!”. Jujur aku memang paling tidak kuat jalan malam. Rasa kantuk bercampur lelah terus menyelimuti. Kembali lagi ku teguk air teh dalam botol 600ml yang harus kami gunakan bersama 3 orang. “benar, air ini tidak akan cukup sampai di puncak”.

mulai putus asa
Semakin ke atas medan semakin berat, setiap 1 langkah keatas bahkan dibayar 2 langkah kebawah. Tak sampai 20 langkah aku selalu minta break. Waktu menunjukkan pukul 04.00 tapi belum ada separuh jalan menuju puncak. Kubalikkan badan ku lihat deretan cahaya dari headlamp para pendaki yang masih dibawah, yang seolah membentuk garis cahaya, sekaligus menyadarkanku sudah seberapa tinggi tanah yang ku injak.

Pukul 05.00 baru separuh perjalanan terlewati, air teh dalam botol kami sudah tinggal tetes terakhir setelah Middi dan Mas Iful bergantian menegukknya. Aku pun lebih memilih untuk terpekur, mengatur nafas, menyapa detak jantung, menyadari denyutan nadi dan kerongkongan yang kering.

Demi apapun, dalam kondisi seperti ini, diri sendiri terasa begitu dekat. Setiap kali aku lelah, akupun berhenti, terpekur, menunduk, dalam arti kiasan maupun sebenarnya. Ada rasa dalam hati ingin menyudahi saja perjalan panjang ini, kembali membalikkan langkah dan tidur yang nyenyak di dalam tenda kami yang nyaman.

Dalam keputus-asaanku melihat botol kami yang kosong, Middi memberikan harapan pada kami “aku masih punya air di WB, semoga cukup sampai puncak” setelah air dalam WB di tuangkan ke dalam botol, hanya separuh lebih sedikit sedang perjalan kami masih jauh. Dalam hati “untuk kebutuhan minumku saja tak cukup, apa lagi buat bertiga”. Sebenarnya aku masih menyimpan 1 botol Isotonic dalam tas mas Iful, harapnnya itu untuk tenaga kami kembali ke Kalimati.

Pukul 05.30 semburat jingga mulai terlukis di ufuk timur, menandakan sang mentari sebentar lagi menampakkan cahayanya. Aku pun berhenti, dan memutuskan untuk menjalankan kewajibanku sebagai seorang Muslim. 

Dalam kemiringan 45 derajat, atau mungkin lebih, aku balikan badan menghadap barat, ku tepukkan tanganku di pasir Mahameru dan tayamum pun mewakili wudhuku pagi itu, diikuti Mas Iful dan Middi aku angkat kedua tanganku dengan mengucap “Allahuakbar” dan sholat subuh pun aku tunaikan dalam keadaan yang serba sulit, di kemiringan yang ekstrim, dalam hembusan angin yang membekukan setiap sendi. Dan tiba-tiba rasa hangatpun menyelimuti saat ku baca Al fatihah dan terus semakin hangat.

Sayup sayup pendaki lain yang ada di samping kami berteriak “awas minggir dulu ada yang sedang sholat” adapun yang lain, “minggir-minggir ada yang sholat” semakin bergetar hatiku Subhanallah aku kira tiada satupun orang yang memperhatikan apa yang kami lakukan, tapi ternyata mereka memperhaikan dan menghargainya. Bahkan setelah kami selesai, dua, tiga orang lain mengikuti untuk sholat subuh di jalur ini.

Hampir 3 jam kami ber-3 merangkaki kemiringan yang semakin tak bersahabat ini. Langit di sebelah kiri sudah berubah warna berpadu dengan warna kuning dan jingga. Kami ber-3 terus merangkak naik. Kembali tenggorokan terasa kering, dan tinggal sebotol Isotonic saja yang tersisa, aku pun meminum 2 teguk begitu pula Mas Iful, Middi pun yang cukup disiplin dengan air ikut meminumnya. Dari situ, kami terus mendaki dalam posisi yang tak berjarak terlalu jauh, sesekali mengobrol ringan agar beban perjalanan tak terasa begitu berat, agar jarak tak lagi satu-satunya yang dipikirkan.

semburat jingga mulai menyapa
Pukul 06.30 matahari sudah meninggi. Semangatku mendadak terus terpompa setelah sholat subuh tadi, ditambah melihat Middi yang terus berjalan tegak di depan, Mas Iful pun terpacu semangatnya di belakangku. Tapi aku sudah mencapai batas “Middiiii Breeeaak duluu” dia tidak mendengar, aku coba mengejar, sambil teriak “Breaak”, semakin kukejar, dia semakin menjauh. 

Akhirnya aku dan Mas Iful memilih untuk tidak memaksa dan berhenti untuk kembali mengumpulkan tenaga. Bersamaan dengan hilangnya Middi dalam kerumunan orang, kembali Jonggring Saloka mengeluarkan gumpalan asapnya yang membumbung tinggi di atas kami.

Mahameru batuk
Kami berdua pun bersantai di pasir Mahameru sambil bermandikan cahaya Matahari, melihat betapa angkuhnya kepulan asap di puncak Mahameru, betapa kecilnya orang di bawah sana yang mencoba untuk “mengalahkan” ganasnya pasir Mahameru,

Mas iful rehat sejenak
Tapi tiba-tiba hal yang tidak terduga terjadi. Middi muncul dari bawah..

“Middii, bukannya ente udah di atas??” tanyaku setengah tak percaya
“kagak, dari tadi ane di belakang Iful”
“iya tadi Mas Middi di depan” 
mas Iful ikut membenarkan
“iye Mid, tadi ane ngikutin ente di depan, karena ane dah gak kuat trus udah teriak break tapi ente terus jalan, makanya kita berhenti”
“Ah masak sih, yang bener ki?” kami sama-sama tak percaya

Benar-benar hal yang hampir tidak bisa diterima nalar, aku yakin sekali saat sholat subuh posisi kami seperti ini: Middi di atas, kemudian Mas Iful, dan Aku paling bawah. Saat aku mendahului Mas iFul aku masih menyadarinya, tapi aku tidak merasa mendahului Middi, dan aku yakin orang yang ada di depan atau di atas aku adalah Middi, dengan jaket dan tas samping yang sama, tapi bagamana bisa dia muncul dari bawah?, kapan aku mendahuluinya?


Mungkin itu hanya bayanganku saja, mungkin juga bentuk pertolongan dari Allah sehingga semangatku untuk melangkah bertambah besar saat melihat Middi melangkah di depan. Dan perjalananpun terus berlanjut menapak pasir makin menguras tenaga. Kondisi jalanan berpasir berganti dengan pasir berbatu-batu besar dan kemiringan yang sudah begitu curam. Kami terus berjalan…

.....bersambung....

No comments:

Post a Comment