Friday 30 August 2013

MAHAMERU: Perjalanan Menuju Puncak Para Dewa (bagian 3)

--Berselimut Kabut Ranu Kumbolo—

17 Agustus 2013

Masih terngiang penggalan lirik Mahameru yang terus ku putar di dalam tenda sepanjang malam.

Mendaki melintas bukit, Berjalan letih menahan menahan berat beban
Bertahan didalam dingin, Berselimut kabut Ranu Kumbolo...

Dua Srikandi dalam pelukan kabut Ranu Kumbolo
Syair itu benar-benar menggambarkan suasana Ranu Kumbolo pagi ini, kabut tebal menghalangi sinar surya menyentuh permukaan Ranu Kumbolo. Seolah menyelimutinya dari segala macam keburukan dan apapun yang hendak menyentuhnya. Akupun bergegas masuk ke dalam selimut kabut itu untuk ikut menikmati pagi di Bumi Pertiwi yang sedang merayakan hari kemerdekaanya yang ke-68 ini.

Dirgahayu Indonesiaku..!!!
Merdeka..!!!
Sekali Merdeka tetap Merdeka..!!!

Tepat 17 Agustus, Di tepi Danau di ketinggian 2400 meter diatas permukaan laut ini, di salah satu surga di tanah khatulistiwa ini, kurasakan bangga menjadi anak dari ibu pertiwi. 68 tahun sudah bumi ini lepas dari penjajahan kolonial bangsa lain, meski bukan berarti mutlak merdeka dari penjajahan-penjajahan lain yang terus menyerang negeri ini.

Penjajahan moral, penjajahan akhlak, dan penjajahan ideology masih terus menerpa bangsa ini. Kita memang sudah merdeka dari adu domba bangsa Belanda tapi kita masih dijajah oleh koruptor yang masih bebas merajalela. Kita memang sudah merdeka dari kekejian pasukan Jepang tapi moral pemuda kita masih dijajah olah teknologi yang memberikan pengaruh buruk bagi perkembangan mereka.


Dalam pelukan kabut Ranu Kumbolo, kuselipkan seuntai doa untuk Alam dan Negeri ini..

Yaa Allah Tuhan Semesta Alam
Engkau titipkan ragaku di pangkuan ibu pertiwi
Engkau berikan kepingan surgamu di bumi khatulitiwa
Engkau besarkanku diatas tanah nan indah ini
Engkau jadikanku generasi penerus perjuangan para pahlawan
Yaa Allah Tuhan Yang Maha Tinggi
Kuatakan kakiku untuk tetap menjejak tanah tumpah darahku ini
Kuatkan tanganku untuk dapat terus berbuat baik untuk bangsa ini
Kuatkan ragaku untuk menjaga alam yang tlah kau anugerahkan ini
Kuatkan jiwaku menjaga moral sahabatku para pemuda dan pemudi
Yaa Allah Tuhan Pemilik Nyawaku
Aku ingin berbakti untuk Ibu Pertiwi
Aku ingin berbuat lebih untuk bangsa ini
Aku ingin terus dapat melihat indahnya Alam ini
dan Aku ini dapat kembali ke pangkuanMu di Bumi ini

Yaa Allah Kabulkanlah pintaku ini..

dan untuk para saudara/I ku
kalian dapat salam dari………
INDONESIA

selamat pagi Ranu Kumbolo
Satu hal lagi yang menarik tentang keheningan fajar di Ranu Kumbolo adalah tentang matahari yang muncul diantara lekukan dua bukit. Ini sama seperti gambaran anak kecil Indonesia (mungkin) dari Sabang sampai Merauke; ada matahari tersenyum yang muncul malu-malu di antara dua buah bukit. Hampir semua orang berfikiran seperti itu. Dan semoga keindahan dan senyum dari anak Indonesia akan terus terukir hingga di akhir waktu nanti.

Nak, satu saat nanti akan ayah bawa melihat surga Indonesia
Nak, satu saat nanti akan ayah ajak melihat permata khatulistiwa
Nak, satu saat nanti akan ayah tunjukkan kecantikan bumi pertiwi
Agar kau bisa menjaganya
Agar kau bisa mensyukuri nikmatNya
Agar kau bisa bangga jadi anak INDONESIA

Seiiring mentari yang semakin meninggi orang-orang pun mulai bergegas keluar dari tenda, beberapa dari mereka berjalan pelan ke punggung bukit, berharap sinar matahari lebih awal mencapai mereka, seperti yang dilakukan Middi dan Om Rey, naik ke puncak bukit sambil menanti matahari dan mengabadikan momen berdua. Sebagian pun ada yang menyiapkan alat pancing untuk sekedar menikmati anugerah alam berupa ikan yang berenang bebas di Ranu Kumbolo

menikmati pagi
Hanya dalam waktu singkat tepian Ranu Kumbolo dengan cepat menjadi riuh, aktifitas sudah dimulai. Orang-orang mulai keluar dari tenda mereka, menghidupkan kompor, barangkali untuk segelas Coklat susu atau secangkir teh melati. Ah, manis sekali Ranu Kumbolo pagi itu.

Aku bersama Ayi, Mas Iful, Neng Sofi, Rina, dan Yunita memilih untuk menyusuri tepian Ranu kumbolo sekedar menikmati lembutnya kabut dan mencari spot foto yang menawan. “sisi lain Ranu Kumbolo” begitulah aku menyebutnya, dikala sebagian besar orang sibuk memancing atau mengambil foto sunrise diantara dua bukit, aku sibuk mengabadikan tipisnya kabut yang menyelimuti Ranu kumbolo.

Semakin menawan ketika perlahan kabut menghilang dan cahaya mentari mulai menyentuh permukaan airnya. Kami pun satu persatu bergantian mengabadikan foto yang luar biasa indah ini. 

perlahan kabut mulai menepi
Tanah Airku Indonesia
Langit di atas kami menunjukan warna biru yang sangat memukau, Benar-benar biru bersih! Bersanding dengan rerumputan dimusim kemarau yang mulai menguning, perpaduan antara kuning dan biru adalah surga bagi penggila fotografi. Sebuah perpaduan warna kontras namun selaras dan sayang untuk dilewatkan.

Selebihnya biarkan sedikit foto yang berbicara





Setelah puas mengabadikan momen yang luar biasa Indah dan mengagumkan, kami pun bergegas kembali ke tenda untuk sarapan. Menu kali ini Sop lagi, tapi buatku apapun makanannya akan sangat nikmat disantap di tengah suasana yang syahdu ini. Baru saja aku akan menyendok nasi yang ada di piring, sayup-sayup terdengar suara barisan yang sedang di siapkan..

Upacara 17 Agustus……..

Hiduplah Indonesia Raya
Langsung aku letakkan piring yang ada di tanganku dan bergegas berlari menuju barisan yang ada di tepi Ranu Kumbolo, dengan khidmad aku ikuti prosesi upacara 17 Agutus ini. Begitu ramai dan menyentuh hati, tak ku pedulikan terikan kawan-kawan satu tenda untuk sarapan terlebih dahulu, ah biarlah tidak bisa sarapan bareng asal bisa ikut mendoakan negeri ini dalam khidmad prosesi upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih di Ranu Kumbolo ini. Dan satu persatu rangkaian upacara terlaksana.

Ditutup dengan doa dan harapan dari putra-putri bangsa, upacara pagi itu akhirnya diakhiri dengan suasana yang khidmad, aku pun kembali ke tenda untuk meneruskan santap pagi yang tertunda.Setelah semua selasai sarapan, tenda pun dikemasi dan perjalanan menuju Tanah Tertinggi Jawa akan dilanjutkan kembali. Target hari ini adalah bisa menginap di camp Kalimati.

--Keindahan dan Persahabatan—

Mitosnya sederhana saja; kalau kau berhasil melewati tanjakan ini tanpa sekalipun menoleh ke belakang, dan kau sedang memikirkan seorang kekasih, maka hubungan cinta kalian akan berlangsung baik dan lancar!

Itulah dia tanjakan cinta.
Sebuah tanjakan yang membentang panjang diantara 2 buah bukit (mirip lambing Love) menghadap Ranu Kumbolo. Tanjakan dengan kemiringan yang lumayan melelahkan ini menjadi menu pembuka bagi para pendaki yang hendak menuju Kalimati. Aku tak begitu saja percaya dengan mitos, tapi apa salahnya mencoba nanjak tanpa berhenti dan menoleh kebelakang.

tanjakan cinta
waktunya menjemput "cinta"
Logika yang berkembang dalam pikiranku, bahwa mitos itu diciptakan untuk sekedar memberikan semangat bagi para pendaki melewati tanjakan ini. Seperti biasa hal-hal menyenangkan bersifat univesal dituangkan menjadi mitos, yang akhirnya percaya tidak percaya banyak saja yang menjalankannya.

Akhirnya dengan dengus nafas yang tinggal tersisa di sela paru-paru, aku pun menginjakkan kaki di puncak tanjakan cinta, semua orang sejenak melepas lelah. Sangat menawan ketika memandang Ranu Kumbolo dari atas sini, puluhan orang Nampak berjuang menggapai puncak “cinta” nya. Sebagian ada yang mengabadikan dalam mata kameranya, dan aku pun tak mau ketinggalan momen begitu saja, dan hati kecil pun mulai merangkai kata.

dari atas tanjakkan cinta
Dinda…..
Satu saat nanti kita akan melangkah bersama
Menjalani takdir kita berdua, bersama
Suka duka bukan lagi milikmu atau milikku saja
Tapi milik kita
Bukan mitos yang membuat cinta kita abadi
Bukan batu dari tanah tertinggi yang buat kita serasi
Bukan juga mimpi yang menjadikan kita berdiri
Tapi doa dan ketulusan cinta kita
Tapi usaha untuk menjemput takdir kita
Yang kan membuat kita bisa bersama
Selamanya…….

Didepan sana, beberapa langkah dari puncak Tanjakan Cinta terbentang sebuah taman yang penuh dengan “lavender” katanya, Karena akupun tak pernah tau wujud bunga Levender. Oro-oro ombo, begitulah orang-orang menyebutnya. Oro-oro dalam bahasa jawa berarti tanah lapang, ombo berarti luas.

oro-oro ombo yang mengagumkan
Oro-Oro Ombo adalah hamparan padang ilalang, rumput dan lavender yang sangat luas. Dia dikelilingi oleh rangkaian bukit-bukit berpuncak landai. Seperti bukit teletubbies, begitu kata orang-orang. Warna yang dominan saat ini tentu saja warna kuning keemasan karena kering, hanya ada sebagian yang berwarna ungu oleh hiasan bunga Lavender.

aku dan oro-oro ombo
Ada 2 jalur untuk melewati Oro-oro ombo, yaitu berbelok ke arah kiri melewati punggungan bukit, atau berjalan lurus vertikal kebawah, memotong sabana. Karena kami sepakat untuk melewati Hamparan Lavender, maka jalur memotong hamparan sabanalah yang kami pilih.

Membelah hamparan lavender di oro-oro ombo membuat hatiku merasa bergetar, betapa kecilnya kita di tengah padang yang luas ini. bagamana gambaran manusia nanti di hari pembalasan saat semua orang berkumpul di adang mahsyar. Sekali lagi perjalan ini membuatku merasa begitu dekat, begitu dekat dengan Sang Pemilik Alam Semesta ini.

membelah padang lavender
Sang mentari yang terus meninggi membuat sinarnya kian terik menerpa padang savana dan butiran debu yang mudah terusik tak mampu mengurangi keceriaan yang dihadirkan oleh tempat ini. Disini keceriaan kami terus terukir bersama, satu persatu anggota tim kian akrab, aku pun mulai mengenal nama mereka satu-persatu tanpa harus bertanya. Lewat mata kamera aku mencoba mengabadikan momen yang barang kali akan menjadi kenangan di hari tua nanti.

selamat datang di Cemoro Kandang

Selama berhenti tidak lupa kami meneguk air yang kami bawa dari Ranu Kumbolo, menikmati pemandangan oro-oro ombo, berfoto, dan bercanda bersama seluruh anggota tim Summit Traveller, dan beberapa pohon cemara yang tumbang kami jadikan sandaran untuk beristirahat.



--Menuju Kalimati—

Perjalanan ini mulai terasa berbeda dengan sebelumnya, pemandangan indah oro-oro ombo mulai berganti pohon-pohon cemara yang tersambar petir, jalanan menanjak sederhana tidak vertikal namun juga tidak bisa dikatakan landai ini terasa begitu panjang. Kembali aku berjalan di depan rombongan yang lain dengan formasi yang nyaris sama dari Ranu Pani-Ranu Kumbolo. Aku bersama Middi, Mas Iful, Rini, dan kali ini bersama sesepuh kami Om Rey.

Jalur yang dilalui terus menanjak, siang yang terik, debu yang membuat sesak, tubuh menjadi mudah sekali kehilangan tenaga. Sesekali kami break untuk sekedar mengumpulkan tenaga. Aku berjalan paling depan, tapi aku tidak sendirian, ditemani beberapa orang dari Surabaya kami saling berbagi cerita indah tentang alam Indonesia, terkadang kami berhenti bersama untuk meneguk segarnya air dari Ranu Kumbolo, tanpa ada rasa canggung kami merasa sebagai satu sahabat, meski baru saja saling mengenal.



Dari Jambangan ini puncak Semeru sudah terlihat jelas. Sesekali dia batuk menghasilkan asap yang kemudian berubah jadi awan. Sebentar lagi Kalimati, sebentar lagi mendirikan tenda. Sebentar lagi, karena jalanan sudah melandai turun.

foto bareng Liverpooldian
Kalimati adalah batas pendakian yang diperbolehkan oleh Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, (TNBTS) apabila kita melangkah lebih jauh daripada itu, maka risiko ditanggung sendiri, itulah yang tertulis dalam surat pernyataan yang ditandatangani pendaki sebelum mulai mendaki. Bukan bermaksud melanggar aturan, namun buatku dan mungkin kawan-kawan pendaki lain ini adalah sebuah perjalanan hati yang harus dituntaskan. Dan selayaknya menghadapi sebuah takdir, aku siap kalaupun harus mati di Mahameru.

Kami para pendaki mengerti betul dan siap dengan segala resiko serta tantangan yang ada di hadapan kami nantinya, pada dasarnya perjalananku dan mungkin para pendaki lain ini memiliki niat luhur dan tulus, ingin menyaksikan keagungan alam raya ciptaan Allah yang harus kami syukuri dan kagumi. Mengenal Allah melalui alam. Merasa dekat dengan Nya. Niat sudah bulat, dan kamipun harus terus melangkah dengan balutan doa yang terus terucap kepada Allah SWT.

Jam HP kembali menunjukkan tanggal 17 Agustus 2013 pukul 16.00 ketika rombongan kami tiba di Kalimati. Pemandangan seketika berubah sunyi senyap dan menegangkan di depan kami terhampar padang rumput luas yang memanjang di tempat ini, bunga-bunga edelweiss tumbuh manis, di sisinya. 

menginjakkan kaki di Kalimati
Sesekali nampak Mahameru mengepulkan asapnya dari kawah Jonggring Saloka. Kepulan asap tebal yang cukup mematikan karena mengandung gas beracun. Oleh karena itu pendaki yang telah sampai puncak Mahameru nantinya diusahakan turun sebelum jam 10 pagi karena gas beracun yang terbawa angin sangat berbahaya bagi pendaki. 

Tentunya sebagian besar pendaki juga telah mengetahui sang demonstran dan pencinta alam UI pertama, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis meninggal di Mahameru karena menghirup gas beracun ini. Sempat terlintas rasa ngeri dan membuatkau tak henti menatap ke atas. Tapi suasana mendadak segar saat melihat ratusan tenda warna warni menempel pada pepohonan di hutan Kalimati, Kami tidak sendiri.

Bang Yudha pun membantu rombongan kami mencari tempat bermalam yang nyaman, yang terlindung dari terpaan angin. Maklum saja di padang yang luas seperti ini, terpaan angin malam yang luar biasa dingin bisa saja membekukan tulang dan sendi kami. dan akhirnya di pinggir sungai kering disela pepohonan cemara khas Kalimati kami pun mendirikan tenda untuk bermalam. Agenda selanjutnya adalah mendirikan tenda, mencari kayu bakar, dan mencari air.

camp Kalimati
Di tempat ini terdapat sebuah sungai yang kering, barangkali karena itulah tempat ini dinamai Kalimati. Pada pertengahan badan sungai ini terdapat rembesan mata air dari akar-akar pepohonan cemara, ini adalah sumber air satu-satunya, dia bernama Sumber Mani.

Trek menuju Sumber Mani cukup jelas, tinggal mengikiuti kemana arah aliran sungai kering ini saja. Sumber air ini berada di tempat yang di kanan kirinya tebing, yang merupakan bekas aliran lahar dari kawah Gunung Semeru. Air yang mengucur begitu pelan menetes, menurun di atas seng yang sudah dipasang. Berada di Sumber Mani seolah-olah berada di hutan yang alami, hanya beberapa sampah pendaki yang berserakan yang membuatnya menjadi tidak alami. Total waktu yang ditempuh termasuk perjalanan dan mengambil air adalah 1 jam pulang pergi. 

Semuanya memanfaatkan sumber air satu-satunya ini; pendaki, para porter, ataupun kucing hutan dan macan tutul. Karena itulah disarankan untuk tidak mengambil air apabila langit sudah gelap, karena seringkali binatang liar tengah minum di Sumber Mani

Hari pun beranjak gelap, mentari pun sudah kembali ke peraduan, api unggun pun telah menyala hangat di samping tenda. Aku, Middi, Neng Sifi, Ayi, dan Mas iful mulai sibuk menyiapkan makan malam, Om Rey dengan cekatan menjaga api unggun agar tetap menyala, memang dia yang paling jago untuk urusan perapian. Sedang para sikandi yang lain sibuk menata tenda sebagai tempat istirahat kami malam ini. jam 21.00 kami semua sudah harus tidur.

Menu malam ini omelet telur, mie goreng, dan sekalai lagi menu utama adalah Sop yang segar, semua dipersiapkan untu tenaga nanti malam. Aku dan Mas iful sepertinya makan paling banyak, soalnya kami bagian cleaning service alias menghabiskan sisa nasi yang ada di dalam nesting , Neng Sofi pun nyeletuk.

"Wah rizki sama mas iful makan paling banyak nih, bagus lah makanannya habis semua, pasti besok kalian nyampe duluan di puncak nih,hehe"
"hahaha, Amiiien neeeng..." jawabku spontan sambil terus menyeruput sisa kuah sop yang ada dalm nesting.

Aku tau bahwa si Neng sedang mengolok-olok kami, tapi justru itu aku anggap sebagai sebuah doa yang tulus darinya, dan semoga bisa menjadi kenyataan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00, kami semua sudah harus istirahat, malam nanti kami akan mulai perjalanan penjang yang sebenarnya, tak cukup hanya dengan fisik yang kuat saja, tetapi lapisan tekad di dalam hatipun turut berperan dalam menuntun langkah kami malam nanti. Dan sekali lagi sebuah kalimat terlintas dalam pikiranku.


“dari sini pendakian yang sebenarnya baru akan dimulai”


bersambung......

No comments:

Post a Comment